JAKARTA - Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen), Kemendikbud, Jumeri menyampaikan, sampai saat ini, masih ada beberapa daerah, khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terluar dan terdepan) masyarakatnya mengalami buta aksara.
“Ada 6 wilayah yang perlu mendapat penekanan atau butuh perjuangan kuat untuk mengangkat ketertinggalan daerah tersebut, karena buta aksara, ” kata Jumeri dalam acara Bincang Pendidikan dan Kebudayaan secara virtual di Jakarta, Jumat (4/9/2020).
Adapun 6 daerah tersebut adalah Papua tingkat buta aksaranya 21, 9 persen, NTB (7, 46) persen, NTT (4, 24) persen, Sulawrsi Barat (3, 98) persen, Sulawesi Selatan (4, 22) persen, dan Kalimantan Barat (3, 81) persen.
“Kini beberapa daerah yang masih harus mendapat perhatian sungguh-sungguh agar bisa mentas dari buta aksara yang menghambat dalam kehidupan di masyarakat. Namun kalau secara nasional, presentase penduduk buta aksara pada tahun 2019 turun menjadi 1, 78 persen. Angka ini lebih baik, jika dibanding tahun 2018 yakni 1, 93 persen. Data buta aksara ini berdasarkan usia 15-59 tahun. Makin tinggi pendapatan penduduk, maka makin tinggi pula melek aksaranya, ” papar Jumeri.
Untuk itu, di dalam menuntaskan buta akasara ada 4 strategi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yaitu pertama, pemutahiran data buta aksara. Dalam hal ini, Kemendikbud bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), sehingga data itu bisa diukur sampai dimana, dilakukan secara nasional.
“Jadi kita memanfaatkan hasil pendataan nasional. Nanti dapat diukur capaiannya dan bisa untuk menentukan langkah yang tepat untuk kedepannya, ” ujarnya.
Kedua, strategi penuntasan. Layanan program pendidikan keaksaraan, terfokus pada daerah terpadat buta aksara. Nantinya akan ada sistem kluster pada wilayah tertentu agar bisa cepat dalam hal penuntasan buta aksara.
“Meski masih dalam masa pandemi, program ini akan terus berjalan, dan kami berharap pada tahun 2023 tidak ada lagi wilayah yang buta aksara, ” imbuhnya.
Ketiga pengembangan jejaring dan sinergitas. Nantinya akan ada sharing anggaran antara pusat dan daerah, kemitraan Perguruan Tinggi, kerjasama dengan dinas terkait serta lembaga pendidikan non formal, untuk menuntaskan buta aksara.
Masyarakat yang sudah tidak buta aksara itu, akan terus dijaga agar mereka bisa terus meningkatkan literasinya. Karena, kalau tidak ada tindak lanjut, maka bisa kembali menjadi buta aksara.
“Untuk itulah diperlukan sinergitas bisa lewat Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik mahasiswa khusus pemberantasan buta aksara, ” ungkap Jumeri.
Keempat pengembangan program yang inovatif. Unuk mengimplementasikan program kepada daerah padat tersebut, diperlukan inovasi dalam layanan program secara daring, untuk mempercepat akses. “Jadi yang daring bukan hanya sekolah-sekolah formal, tapi juga pendidikan non formal, pendidikan masyarakat semacam keaksaraan ini juga bisa didaringkan lewat jejaring yang sudah kita luncurkan, ” paparnya.
“Ini inovatif pendekatan, sinergi, dan metode pembelajaran pendidikan keaksaraan. Apalagi dalam masa pandemi ini, berbagai program pendidikan keaksaraan perlu penyesuaian, dan sejalan dengan tema tahun ini bahwa Pembelajaran Literasi di Masa Pandemi Covid-19, Momentum Perubahan Paradigma Pendidikan. maka dibutuhkan inovasi dalam layanan program secara daring, terutama di tengah pandemi ini, ” ungkapnya. (Foto: G. Suranto).